Kisah tukang Gorengan, Bongkol singkong dan balasan 700x Lipat








 



Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.  (Q.S. Al-Baqarah :216)

Di sebuah sekolah dasar di daerah Jakarta Selatan, seorang pria penjual gorengan bernama asep berjualan. Lonceng istirahat, kira-kira akan berbunyi sepuluh menit lagi. Ia sedang sibuk memotong beberapa singkong untuk digoreng. Seperti kita tahu, singkong adalah sejenis umbi-umbian yang berbentuk tabung dan berkerucut pada ujungnya.

Biasanya sebuah singkong akan dipotong menjadi 5 bagian. 4 bagian digoreng untuk dijual, sementara bagian ujungnya atau pentilnya disisihkan untuk dibuang. Pada hari itu, Asep menggoreng kira-kira 5 buah singkong, dan pentil singkong yang tersisa pun berjumlah 5 karenanya.


Lonceng istirahat berbunyi, para siswa pun berhamburan ke luar kelas untuk jajan dan istirahat. Tapi ada pemandangan yang berbeda yang dilihat oleh Asep, seorang anak kurus sambil menggigit jari berdiri di ujung gerobak Asep. Anak ini tidak membeli gorengan seperti siswa lainnya, juga tidak berbicara sepatah katapun. Nurani Asep berkata bahwa anak ini tidak punya uang untuk jajan. Hati kecil menyuruhnya agar 5 pentil singkong yang ada diberikan saja kepada anak itu. Maka diambillah beberapa pentil itu. Ia masukkan ke dalam adonan tepung, kemudian digorenglah. Setelah matang, Asep menaruhnya di atas kertas lalu disodorkannya kepada anak itu. Si anak senang bukan main. Senyumnya mengembang. Asep pun turut bahagia melihatnya. Belakangan, Asep tahu bahwa anak tersebut adalah seorang yatim yang baru saja kehilangan bapak.

Kejadian pagi itu terus berulang. Asep memberikan beberapa pentil singkongnya kepada anak yatim itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun hingga anak itu lulus dari Sekolah Dasar. Asep tidak merasa rugi atas apa yang dia berikan, sebab apa yang ia berikan kepada anak yatim itu, tiada lain adalah barang yang tiada berharga bagi siapapun. Di dalam pengalamannya berjualan, tidak ada seorang pun yang mencari pentil singkong untuk dibeli. Bahkan bila dijual sekalipun dalam jumlah banyak, pastilah tidak akan laku. Asep tidak berkeberatan memberikan pentil singkongnya kepada anak itu. Bahkan untuk setiap hari!

Allah Swt akan membalas kebaikan seorang hamba bila ia membantu saudaranya bahkan hingga 700 kali lipat!

walaupun hambanya tersebut tidak menyadari bahwa ketika melakukan bantuan kepada siapapun, hari itu juga Allah langsung membalasnya, dan balasan Allah itu benar-benar melalui proses skenario yang begitu indah  yang bahkan tidak di duga-duga kedatangannya.

Lebih dari 30 tahun berselang setelah anak yatim itu lulus. Saat itu, Asep masih mengerjakan rutinitasnya setiap hari, yaitu berjualan gorengan di sekolah dasar yang sama. Di suatu pagi, berhentilah sebuah mobil mewah nan mengkilap tepat di depan gerobak Asep. Seorang pemuda tampan turun dari mobil. Ia mengenakan setelan jas hitam dan dasi yang bermerk. Rambutnya di sisir rapi dan mengkilat ditimpa sinar matahari.

Melihat calon pembeli dengan mobil bagus, Asep dengan sigap membuka pembicaraan, “Mau beli gorengan, Den…?!” Pemuda itu tersenyum dan berkata, “Masa akang lupa sama saya?” Pertanyaan itu membuat Asep berpikir singkat, namun ia tidak menemukan jawaban. Asep lalu bertanya polos, “Memangnya…, Aden ini siapa ya?” Masih tersenyum, pemuda itu mengatakan, “Saya ini adalah anak pentil singkong, Kang!” Mendengar itu, Asep berucap tasbih. Rasa gembira terbit di hatinya melihat kesuksesan anak ini. Anak pentil singkong yang dulu kerap berdiri di pinggir gerobaknya.

“Masya Allah…. sudah sukses sekarang ya, Den?!” Asep bertanya sekali lagi. “Alhamdulillah, Kang!” jawab si Aden.
Asep lalu menggamit lengan si Aden, diajaknya masuk ke balik gerobak. Udin menyorongkan sebuah kursi kecil untuk duduk. Maka duduklah pemuda itu, sementara Asep meneruskan pekerjaannya…. menggoreng singkong, tempe dan lain-lain.

Sambil Asep bekerja, pembicaraan mengenai kenangan lama terulang kembali. Keduanya merajut rasa syukur kepada Allah Swt Yang telah melimpahkan anugerah tiada terkira. Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga berujung pada sebuah kalimat yang diucapkan sang pemuda.
“Akang… saya ke sini mau berterima kasih!” kata si pemuda. “Atas apa, Den?!” jawab Asep. “Berterima kasih atas kebaikan kang Asep kepada saya. Dulu kalau nggak dikasih pentil singkong sama Akang, saya gak bakal bisa belajar dengan tenang. Kalau belajar gak tenang, saya gak bakal pintar. Kalau gak pintar, saya gak bakal bisa lulus sekolah dan sukses seperti sekarang…. saya ke sini mau berterima kasih ke kang asep!”. Kalimat yang baru diucapkan oleh pemuda begitu tersusun dan membanggakan hati Asep. Namun Asep masih berkelit sambil berujar, “Den… sudah gak usah dipikirkan. Apa yang saya kasih ke Aden berupa pentil singkong itu kan gak berharga! Ngapain pake terima kasih segala. Lagian, kalo saya jual gak bakal ada yang mau…!” Asep mencoba merendah dan menolak pamrih.

Pemuda masih mengejar dengan satu pertanyaan lagi, dan ini membuat Asep menjadi bergidik. “Akang…, saya dan istri berniat haji tahun ini. Saya ingin Kang Asep dan istri mau menemani kami. Mau kan, Kang?” Gemuruh rasa terjadi di dada Asep. Tidak pernah terbayang baginya akan ada seorang hamba Allah yang mengajaknya untuk menunaikan rukun Islam kelima. Asep pun mengiyakan, dan pemuda itu pun pergi meninggalkan Asep.

Asep dan istrinya berangkat haji. Seluruh biaya dan uang jajan keduanya ditanggung oleh si pemuda. Barangkali lebih dari Rp 60 juta yang dibayarkan olehnya. Asep dan istri lalu berangkat ke Baitullah, menunaikan semua ritual dan kewajiban dalam ibadah haji. Hingga ia dan istri kembali ke tanah air lagi dengan selamat.

Sesampainya di tanah air, banyak kerabat, saudara dan tetangga datang bersilaturahmi. Udin membagikan oleh-oleh berupa air zamzam, kurma dan banyak lagi. Banyak orang senang menerima hadiah tersebut. Mereka pun banyak menanyakan pengalaman Asep dan istri selama berhaji. Asep menjawab semua pertanyaan orang yang datang sebisanya. Hingga saat ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana caranya kang Asep dapat berhaji bersama istri padahal usahanya hanya sekedar menjual gorengan.

Rupanya… banyak yang belum tahu dengan cara apa Asep berangkat haji. Dan memang, ia merahasiakan hal itu selama ini. Asep pun menjawab seadanya, “Dulu…, saya sedekah pentil singkong kepada seorang anak yatim, eh gak taunya dengan sedekah itu saya dan istri berangkat haji. Kalo tahu begini, coba dulu saya sedekah singkong beneran sama tuh anak…!”
Asep mencoba berkelakar dengan jawabannya, dan hal itu membuat hadirin tertawa terbahak mendengarnya. Dalam hati, Asep bersyukur kepada Allah Swt Yang Sungguh menepati janji kepada dirinya.

Sungguh Allah Swt Maha Kuasa untuk membalas amal seorang hamba, bahkan hingga 700 kali lipat atau lebih dari itu.

dituliskan  Bobby Herwibowo (Dewan Pengawas Syariah Dompet Dhuafa Republika). ada sedikit editan dari saya (abdul malik hakim).

0 komentar:

Posting Komentar